Sabtu, 25 Desember 2010

kepemimpinan dakwah


KEPEMIMPINAN DAKWAH (RIJAL AD-DA’WAH)
DR. M.Idris A.Shomad, M.A

Mukaddimah
Kepemimpinan adalah kebutuhan naluri umat manusia untuk kelangsungan hidupnya, sebab manusia adalah makhluk sosial, kecenderungannya untuk hidup sosial memberinya petunjuk agar hidup lebih teratur dalam kumpulannya. Keteraturan tersebut tidak mungkin dicapai tanpa sebuah sistem yang mengatur tata dan pola hidup mereka, sistem tersebut mestilah dilakukan oleh orang-orang yang mengelola dan menjalankan segala aturan yang berlaku demi terealisasi tujuan dan maksud mereka. Sepanjang sejarah kemanusiaan  kepemiminan menjadi keniscayaan hidup, dengan kata lain ”Tiada kehidupan tanpa kepemimpinan”.
Kepemimpinan dalam terminology Islam dikenal dengan istilah-istilah yang beragam antara lain Imamah, Qiyadah, Khilafah, Imarah, Ulil Amri, Ri’asah. Dalam bahasa asing disebut “leadership”.
Dalam sejarah kepemimpinan umat manusia, Islam memandang bahwa Bi’tsah Nabawiyah (Prophetik) adalah ”Esensi Kepemimpinan”; karena diutusnya para rasul sebenarnya untuk memimpin umat manusia membawa mereka dari kegelapan kepada cahaya terang benderang. Allah SWT menjelaskan bahwa tiada satu umat  yang eksis kecuali Allah mengutus seorang manusia pilihanNya yang mampu menegakkan prinsip dan nilai ishlah, memperbaiki akidah dan meluruskan perilaku-perilaku menyimpang di tengah masyarakat . Firman Allah SWT: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah dan jauhilah thagut sesembahan selainNya (QS. An-Nahl 16: 36).
Dikarenakan beratnya tugas yang diemban para rasul yaitu membimbing dan membawa umat manusia ke jalan yang benar, maka kompetensi dasar yang dimiliki mereka juga merupakan konsekuensi dari posisi mereka sebagai pemimpin, yaitu Shidiq (jujur), Amanah (penuh tangguh jawab), Fathonah (Cerdas) dan Tablig (Menyampaikan Misi). Sifat-sifat itu pula sebenarnya yang diperlukan pemimpin yang sukses dalam menjalankan misinya di tengah umat.

Rijal Dakwah.
Rijal berasal dari kata rojul (Arab), secara istilah mempunyai arti yang sangat luas yakni segala yang menunjukkan ketokohan, kepahlawanan dan kepiawaian seseorang. Karenanya Rijal diartikan sebagai sosok Pemimpin dan Figur tokoh yang mampu mengemban amanah keumatan. karenanya dalam al-Qur’an kata Rojul digunakan pada konteks kebaikan dan kepahlawanan. Perhatikan ayat-ayat berikut ;
tA$s% ÈbŸxã_u z`ÏB tûïÏ%©!$# šcqèù$sƒs zNyè÷Rr& ª!$# $yJÍköŽn=tã (#qè=äz÷Š$# ãNÍköŽn=tã šU$t6ø9$# #sŒÎ*sù çnqßJçGù=yzyŠ öNä3¯RÎ*sù tbqç7Î=»xî 4 n?tãur «!$# (#þqè=©.uqtGsù bÎ) OçGYä. tûüÏZÏB÷sB ÇËÌÈ  
“berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: "Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman". (QS. Al-Maidah: 23).
uä!%y`ur ×@ã_u ô`ÏiB $|Áø%r& ÏpuZƒÏyJø9$# 4Ótëó¡o tA$s% #ÓyqßJ»tƒ žcÎ) V|yJø9$# tbrãÏJs?ù'tƒ y7Î/ x8qè=çFø)uÏ9 ólã÷z$$sù ÎoTÎ) y7s9 z`ÏB šúüÏÛÅÁ»¨Y9$# ÇËÉÈ  
“dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: "Hai Musa, Sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu” (QS. Al-Qashash: 20)
tA$s%ur ×@ã_u Ö`ÏB÷sB ô`ÏiB ÉA#uä šcöqtãöÏù ÞOçFõ3tƒ ÿ¼çmuZ»yJƒÎ) tbqè=çFø)s?r& ¸xã_u br& tAqà)tƒ }În1u ª!$# ôs%ur Mä.uä!%y` ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ `ÏB öNä3În/§ ( bÎ)ur à7tƒ $\/É»Ÿ2 Ïmøn=yèsù ¼çmç/Éx. ( bÎ)ur à7tƒ $]%ÏŠ$|¹ Nä3ö6ÅÁムâÙ÷èt/ Ï%©!$# öNä.ßÏètƒ ( ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïöku ô`tB uqèd Ô$ÎŽô£ãB Ò>#¤x. ÇËÑÈ  
“dan seorang laki-laki yang beriman di antara Pengikut-pengikut Fir'aun yang Menyembunyikan imannya berkata: "Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena Dia menyatakan: "Tuhanku ialah Allah Padahal Dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. dan jika ia seorang pendusta Maka Dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu". Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta (QS. Ghafir: 28).
uä!%y`ur ô`ÏB $|Áø%r& ÏpuZƒÏyJø9$# ×@ã_u 4Ótëó¡o tA$s% ÉQöqs)»tƒ (#qãèÎ7®?$# šúüÎ=yößJø9$# ÇËÉÈ  
“dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: "Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu". (QS. Yaasin:  20).
Ÿw óOà)s? ÏmÏù #Yt/r& 4 îÉfó¡yJ©9 }§Åcé& n?tã 3uqø)­G9$# ô`ÏB ÉA¨rr& BQöqtƒ ,ymr& br& tPqà)s? ÏmÏù 4 ÏmÏù ×A%y`Í šcq7Ïtä br& (#r㍣gsÜtGtƒ 4 ª!$#ur =Ïtä šúï̍Îdg©ÜßJø9$# ÇÊÉÑÈ  
“janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih” (QS. At-Taubah: 108).
Îû BNqãç/ tbÏŒr& ª!$# br& yìsùöè? tŸ2õãƒur $pkŽÏù ¼çmßJó$# ßxÎm7|¡ç ¼çms9 $pkŽÏù Íirßäóø9$$Î/ ÉA$|¹Fy$#ur ÇÌÏÈ   ×A%y`Í žw öNÍkŽÎgù=è? ×ot»pgÏB Ÿwur ììøt/ `tã ̍ø.ÏŒ «!$# ÏQ$s%Î)ur Ío4qn=¢Á9$# Ïä!$tGƒÎ)ur Ío4qx.¨9$#   tbqèù$sƒs $YBöqtƒ Ü=¯=s)tGs? ÏmŠÏù ÛUqè=à)ø9$# ㍻|Áö/F{$#ur ÇÌÐÈ  
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang (QS. An-Nur: 36 ).
z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ×A%y`Í (#qè%y|¹ $tB (#rßyg»tã ©!$# Ïmøn=tã ( Nßg÷YÏJsù `¨B 4Ó|Ós% ¼çmt6øtwU Nåk÷]ÏBur `¨B ãÏàtF^tƒ ( $tBur (#qä9£t/ WxƒÏö7s? ÇËÌÈ  
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya)” (QS. Al-Ahzab: 23 )
Rijal Dakwah adalah orang-orang yang memiliki kapasitas ketokohan dan kepemimpinan dalam menjalankan roda dakwah demi mencapai tujuan-tujuan mulia kehidupan.
Rijal dakwah adalah da`i profesional yang handal dalam mengarahkan umat menjadi manusia-manusia bertakwa. Kata Da’i dalam bahasa Arab adalah bentuk isim fail (kata menunjukkan pelaku) dari asal kata da’wah (da ’a wa) artinya orang yang melakukan dakwah. Secara terminologis da’i yaitu setiap muslim yang berakal mukallaf[1] dengan kewajiban dakwah.
Definisi terminologis Dakwah tersebut memunculkan konsekuensi berupa persepsi, bahwa kewajiban dakwah diberikan kepada setiap muslim yang telah mencapai usia baligh, aqil (berakal) dan mukallaf (terkena kewajiban-kewajiban syariah), baik lelaki maupun perempuan.
Kata profesional berasal dari bahasa Inggris ”Professional” yang berarti tenaga ahli atau seseorang yang bekerja pada bidang tertentu yang memerlukan keahlian dan kecakapan. Sebahagian orang menerjemahkan Profesional ke dalam bahasa Arab dengan kata “ITQON” yang berarti mantap, baik dan bermutu. Sedangkan dalam kamus-kamus bahasa Arab kata Profesional diterjemahkan dengan kata Mihani atau hirfi atau muhtarif yang artinya pekerja ahli dan cakap.
Karenanya makna DA`I PROFESIONAL adalah seorang da’i yang bekerja dalam dakwah pada segala komponennya secara baik, tertib, cakap dan berdasarkan keahliannya sebagai da’i. Da’i Profesional sebagaimana dalam definisi di atas adalah da’i yang mengemban amanat dakwah, akan menghadapi berbagai rintangan dan tantangan yang tidak mudah.  Da’i Profesional sebagaimana dijelaskan diatas adalah Rijal Dakwah.
Rijal Dakwah (Da`i Pemimpin) inilah yang memperoleh penghargaan dari Allah sebagai sosok terhormat sesuai dengan besarnya amanah yang diemban. Da’i adalah sosok manusia pilihan Allah yang terhormat, dia manusia biasa yang diberi kelebihan oleh Allah SWT berupa hidayah (petunjuk) untuk beramal shalih dan mengajak orang beramal shalih.

Kepemimpinan Bagian Dari Agama.
Demikian besar perhatian Islam kepada kepemimpinan, sehingga dala hal yang sebagian orang menganggap sepelepun Islam memandang perlu agar dilakukan pemilihan seorang pemimpin, seperti yang Rasulullah saw anjurkan agar memilih pemimpin saat 3 orang mengadakan perjalanan (safar): ”Apabila tiga orang keluar untuk melakukan perjalanan maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud)[2].
Dalam siklus yang lebih besar lagi, Islam memandang bahwa kehidupan rumah tangga hendaknya diatur dalam mekanisme kepemimpinan dengan menumbuhkan mas’uliyah (responsibility) setiap anggota keluarga, dari laki-laki sebagai seorang Bapak dan suami, wanita sebagai ibu dan istri, anak-anak yang memberikan komitmen dan ketaatannya dalam menjaga harmoni dan norma kehidupan keluarga. Rasulullah saw menjelaskan hal tersebut dalam sabdanya: ”Setiap kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya, laki-laki bertanggung jawab atas seluruh keluarganya, wanita (ibu ) bertanggung jawab atas rumah tangga keluarganya, pembantu bertanggung jawab atas harta tuannya” –alhadits Muttafaq ’Alaih-[3] .
Prinisp kepemimpinan juga nampak dalam ajaran shalat berjamaah; ada imam yang meski memiliki kredibelitas sebagai seorang pemimpin jamaah shalat, ada ma’mum sebagai pengikut setia yang mengikuti segala gerak gerik sang imam.
Dalam ruang lingkup yang lebih besar kepemimpinan ditegaskan sebagai sebuah kelangsungan kehidupan bernegara dan bermasyarakat luas, terbukti adalah prinsip taat sebagaimana firman Allah SWT: ”Wahai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta kepada ulil amri” (QS. An-Nisa’: 59).
Model kepemimpinan inilah yang disebut-sebut para ulama Islam sebagai sebuah konsensus para shahabat dan tabi’in yang menyatakan bahwa kepemimpinan (al-Imamah) merapakan kewajiban bagi warga muslim untuk merealisasinya untuk menjalankan tugas-tugas kemaslahatan dunia dan melaksanakan kewajiban-kewajiban agama secara utuh dan simultan [4].
Demikian pula para ulama Islam mengedepankan kepemimpinan dengan perhatian khusus, karena kepemimpinan adalah prinsip yang dapat memberikan dukungan besar bagi realisasi ajaran Islam. Diantara para ulama adalah Ibnu Taimiyah yang menegaskan dalam bukunya ”as-Siyasah asy-Syar’iyah” [5]:
”Wajib diketahui bahwa memimpin urusan manusia termasuk kewajiban agung dalam agama, bahkan tidak akan tegak agama kecuali dengannya. Sesungguhnya kepentingan dan kemaslahatan anak-anak Adam tidak akan terealisisasi secara utuh kecuali dengan perkumpulan, karena mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dalam perkumpulan itu sudah seharusnya ada seorang pemimpin”.

Kepemimpinan Bermoral & Bermartabat.
Pemimpin dalam Islam merupakan wakil dari umat yang menyatakan kesiapannya untuk berdedikasi bagi umat, karenanya pemimpin dalam Islam bukan sekedar seorang penguasa yang memiliki otoritas dan kewenangan mengurus masyarakat, lebih dari itu ia adalah seorang Mas’ul (bertanggung jawab) dan Khadim al-Ummah (pelayan umat).
Shahabat Abu Bakar ash-Shiddiq memberikan contoh teladan bagi para pemimpin setelahnya untuk tetap mengedepankan kebersamaan dalam mengemban amanat besar itu, seraya berkata: ”Wahai  hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian, padahal aku bukanlah orang yang terbaik dari kalian. Jika kalian melihat aku berada dalam kebenaran, maka bantulah aku, tetapi jika kalian melihat aku keliru maka luruskanlah aku. Taatlah kepadaku selagi aku taat kepada Allah, sebaliknya jika aku berbuat durhaka maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk taat kepadaku[6].
Shahabat Umar bin Khathab berkata saat hari pertama dinobatkan menjadi khalifah: ”Barangsiapa yang melihat penyimpangan dari diriku maka luruskanlah aku”.
Demikian para pemimpin setelah mereka terus melanjutkan mainstrim tersebut, karena mereka sadar bahwa pemimpin adalah penerima amanah yang memikul tanggung jawab berat di atas pundaknya; sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya: ”Kepemimpinan adalah tanggung jawab, dia (jika diabaikan) menjadi penyesalan dan kehinaan di hari kiamat” al-hadits riwayat Imam Muslim [7].
Arahan Rasulullah saw tersebut menegaskan bahwa kepemimpinan dalam Islam bukan peluang mencari kedudukan dan jabatan, lebih dari itu ia bukan kesempatan bagi kediktatoran, momen kezhaliman, tetapi ia adalah amanah yang dipikul untuk mewujudkan ketentraman, kenyamanan dan kesejahteraan hidup umat manusia.



Esensi Kepemimpinan & Karakter Rijalud-Da’wah.
Esensi kepemimpinan adalah ”INFLUENCE” diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan kata ”Ta’tsir” yaitu memberikan pengaruh. Yaitu upaya mempengaruhi orang lain dengan nilai-nilai tertentu dengan cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Dalam Prinsip Influence faktor-faktor yang dapat memberikan pengaruh bisa dalam bentuk moril maupun fisikal. Aspek Fisikal yang menjadi faktor terhadap pengaruh banyak dipelajari dan dikenal orang banyak seperti: Performance (penampilan), tutur bahasa, kebugaran fisik dsb.
Sedangkan aspek moral yang menjadi faktor terhadap pengaruh adalah berupa sifat-sifat pokok keteladanan bagi pemimpin, yaitu: Shidiq, Amanah, Fathonah, Tablig. Sekaligus merupakan sifat dasar para pemimpin umat dari kalangan para nabi dan rasul Allah SWT.
Shidiq adalah visi hidup muslim, karena hidup ini berasal dari Yang Maha Benar (Jujur) maka hidup harus benar dan terumus dengan benar dan baik. Shidiq akan memunculkan konsep turunan khas manajemen dan kepemimpinan efektif dan efesien. Efektifitas terindikasi dengan pencapaian tujuan secara benar dan tepat, sedangkan efesiensi terindikasi dengan keluhuran kegiatan dengan teknik dan metode yang tidak mubazir dan tidak sia-sia.
Amanah artinya tanggung jawab, dapat pula dimaknai sebagai trust (kepercayaan) dan kredibelitas yakni kemampuan melaksanakan tugas dengan benar dan baik. Jika Shidiq merupakan visi hidup, maka amanah adalah misi hidup setiap muslim, artinya setiap pemimpin sejatinya melaksanakan tugas kepemimpinan dan kewajiban kemaslahatan umat dengan penuh amanah dan tanggung jawab dengan cara melaksanakannya secara benar sesuai aturan agama dan konstitusi yang berlaku serta baik sesuai dengan etika dan moralitas sebagai seorang tokoh panutan umat; karena Allah hanya dapat dijumpai dengan ridho dan diridhoi, bila amanah ditepati.
Fathonah maknanya kecerdasan, dengan bahasa yang lain kebijakan dan intelektualitas; untuk mencapai sesuatu yang benar dan baik mesti mengerahkan segala potensi antara lain akal; karena itu Allah SWT selalu ’menyindir’ orang yang menolak kebenaran dengan firmanNya ”Afalaa Ta’qiluun” (adakah kalian menggunakan akalmu), Awalam yatafakkaruun (apakah mereka tidak berfikir?) dsb.
Implikasi politik dari sifat Fathonah adalah segala aktifitas sejatinya dilakukan berdasarkan ilmu, cerdas dan optimalisasi potensi akal. Sebab kejujuran, amanah dan kredibel tidak cukup dalam kepemimpinan, tetapi mesti ada kecerdasan agar tidak mudah ditipu muslihat orang lain. Juga Islam tidak mengajarkan dikotomis antara ”Work Hard and Work Smart”, keduanya harus berjalan seiring secara harmonis dan seimbang.
Tabligh artinya menyampaikan, yaitu menyampaikan visi dan misi keumatan sebagaimana mestinya, tablig juga dapat dimaknai pemimpin yang komunikatif dengan masyarakatnya. Implikasi politik dari sifat tablig ini antara lain kemampuan Share dengan masyarakat dan pejabat-pejabat yang membantunya serta memiliki Care yaitu empati dan peduli terhadap sesama. Sehingga Tablig dalam kepemimpinan merupakan Prinsip Komunikasi Personal dan Massal, juga dapat disebut sebagai Marketing System, Open Management.
Kriteria dan Syarat Rijal Dakwah Yang Berpengaruh.
Karena tugas da'i professional tidak sekedar menyampaikan pesan-pesan Islam, bahkan sejatinya ia mampu memberikan pengaruh positif kepada mad'u (komunikan), da’i pemimpin yang mampu memberikan pengaruh kepada mad’u adalah da’i yang memiliki kriteria sebagaimana dijelaskan dalam teks-teks wahyu sebagai berikut:
A) Pemimpin yang kuat dan tegar, sebagaimana dijelaskan dalam kandungan ayat-ayat berikut :
ûÉiïr'x.ur `ÏiB %cÓÉ<¯R Ÿ@tG»s% ¼çmyètB tbqÎn/Í ×ŽÏWx. $yJsù (#qãZydur !$yJÏ9 öNåku5$|¹r& Îû È@Î6y «!$# $tBur (#qàÿãè|Ê $tBur (#qçR%s3tGó$# 3 ª!$#ur =Ïtä tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÍÏÈ   $tBur tb%x. óOßgs9öqs% HwÎ) br& (#qä9$s% $uZ­/u öÏÿøî$# $uZs9 $oYt/qçRèŒ $oYsù#uŽó Î)ur þÎû $tR̍øBr& ôMÎm6rOur $oYtB#yø%r& $tRöÝÁR$#ur n?tã ÏQöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»x6ø9$# ÇÊÍÐÈ   ãNßg9s?$t«sù ª!$# z>#uqrO $u÷R9$# z`ó¡ãmur É>#uqrO ÍotÅzFy$# 3 ª!$#ur =Ïtä tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇÊÍÑÈ   
“Betapa setiap Nabi yang berperang bersamanya Robbaniyyin yang banyak, mereka tidak merasa lemah (di depan musuh) karena musibah di jalan Allah, mereka tidak lemah dan tidak merasa kalah (pesimis). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. Bukanlah perkataan mereka kecuali (lantunan doa) Ya Robbana ampunilah dosa-dosa kami, kelebih-lebih sikap kami, teguhkan pendirian kami dan bantulah kami atas orang-orang kafir. maka Allah memberikan balasan (pahala) di dunia dan kebaikan balasan akhirat, dan Allah menyukai orang-orang yang ihsan” (QS. Ali Imran: 146-148).
Sifat asasi bagi setiap da’i tergambar dalam ayat-ayat ini yang menjelaskan tentang mereka yang mengikuti jejak langkah perjuangan dakwah para Nabi, khususnya Nabi Muhammad saw.
Ribbiyyun, artinya: orang-orang yang Robbaniyyun yaitu memiliki komitmen kuat kepada Allah Robb alam semesta; ada ulama yang menafsir Ribbiyyun dengan kelompok ulamat para pewaris Nabi yang berjuang membela dakwah Islam[8].
Katsir: berarti banyak, maksudnya adalah para pengikut Nabi itu hendaknya diperhatikan jumlah personilnya; kalau kata Ribbiyyun menerangkan aspek kualitas para pengikut Nabi yaitu Robbaniyyun, maka kata katsir menjelaskan aspek kuantitas para pengikut Nabi.
Sifat-sifat asasi para da’i di jalan Allah SWT sebagaimana tersurat dalam ayat-ayat ini ialah :
a)            Famaa Wahanuu Limaa Ashobahum Fi Sabilillah, tidak lemah mental saat ditimpa musibah di jalan Allah; dalam perjuangan mereka hanya menginginkan salah satu dari dua pilihan yang keduanya baik dalam pandangannya “mati syahid atau kemenangan”; kemenangan bagi adalah karunia Allah dan sekaligus perintahNya untuk terus melanjutkan perjuangan yang masih panjang menuju ridhoNya. Mati syahid adalah pintu masuk perjumpaan yang sangat mulia untuk bertemu dengan Sang Kekasih Allah SWT.
b)            Wamaa Dho’ufuu ( tidak lemah ). Dakwah tidak menempuh jarak sepuluh atau dua puluh kilo meter, jalan dakwah sangat panjang mengular, bahkan berliku, terjal. Jalan dakwah tidak dihiasi bunga dan kenikmatan, tetapi jalan dakwah sarat dengan duri merintang dan hewan-hewan yang senantiasa mengganggu mereka yang melewatinya. Karenanya dakwah dalam mencapai tujuannya memerlukan orang-orang yang tangguh dan kuat dari segi fisik; dengan fisik yang sehat dan kuat para da’I itu diharapkan dapat melewati rintangan dan cobaan dalam dakwah dengan penuh keikhlasan dan ketabahan (tsabat).
c)             Wamas-Takaanuu ( tidak tunduk kepada musuh ). Diantara cobaan dalam dakwah adalah rayuan dan iming-iming yang dilakukan musuh-musuh dakwah untuk memperdayakan para da’I, agar mereka dengan leluasa melakukan kehendak dan keinginan mereka dalam menyebarkan kebatilan di muka bumi. Secara kontekstual ayat ini memberikan pengertian bahwa hendaknya da’I tidak boleh menjadi orang yang lemah operasioanl; dalam beraktifitas setiap da’I dituntut untuk dinamis, proaktif dan kreatif inovatif, sehingga tidak mudah dirayu dan diperdayakan oleh orang-orang yang tidak suka kepada dakwah Islam.
d)            Wamaa Kaana Qoulahum illaa an Qooluu Robbanaghfiglana …….. ( perkataan mereka tidak lain adalah permohonan ampunan Allah…….). Mengapa da’I masih juga memohon ampun kepada Allah SWT ? Bukankah ia sudah banyak berbuat untuk Islam dan umat Islam, sehingga sudah banyak berbuat dan banyak memperoleh pahala dari Allah ???!!! Oh … tidah demikian halnya da’I yang Robbani, ia tetap berusaha mendekatkan diri kepada Allah, ia merasa amalnya kecil dan lemah di hadapan Allah Yang Maha Kuasa dan Perkasa. Karenanya ia selalu tetap memohon ampunan kepadaNya, seperti sang Teladan para da’I Rasulullah saw tidak kurang dari 70 kali dalam sehari beliau membaca istigfar, disamping senantiasa meningkatkan amal-amal ibadahnya. Ketika beliau ditanya mengapa engkau masih melakukan hal itu, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa sebelum dan sesudahnya ? Nabi saw menjawab: “Kenapa aku tidak menjadi hamba yang pandai bersyukur ?!”, maksudnya: ampunan dari Allah adalah karunia dan anugrah dariNya, maka setiap anugrah itu harus disyukuri dengan terus meningkatkan penghambaan kepadaNya[9].
Merealisasi hal-hal di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan, sangat membutuhkan kerja keras dan keseriusan aktifitas juga memerlukan kebersihan hati, niat dan motivasi. Beratnya realisasi itu bukan berarti tidak ada upaya merealisasinya, karena Allah akan memberikan bonus dan award yang tidak sedikit dan tidak kecil :
فَآتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الآخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
maka Allah memberikan balasan (pahala) di dunia dan kebaikan balasan akhirat, dan Allah menyukai orang-orang yang ihsan.

B) Pemimpin yang komunikatif dan peduli, seperti yang dijelaskan Rasulullah saw dalam sabdanya :
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "المؤمن الذي يخالط الناس ويصبر على أذاهم أعظم أجرا من المؤمن الذي لا يخالط الناس ولا يصبر على أذاهم" ( أخرجه ابن ماجه والإمام أحمد والترمذي
Dari Ibnu Umar r.a berkata: Rasulullah saw bersabda: Mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar dari ‘siksa mereka’ lebih besar pahalanya dari pada mukmin yang tidak bergaul dan tidak sabar dari ‘siksa mereka’ ([10]).
Sesungguhnya dari sekian macam kesabaran yang terbesar adalah sabar dalam bergaul dan tahan dengan gangguan mereka, sisi kesulitannya bukan pada pergaulan itu sendiri, tetapi terletak pada ketahanan sang da’i dalam berpegang pada ajaran kebenaran yang diembannya dan membawa manusia dalam keberagaman mereka dalam keagamaan dan pelaksanaan kewajiban-kewajiban nya  serta memperjuangakan mereka untuk tetap istiqomah; itulah peran yang berat yang dijalankan sang Da’i. Namun hal itu akan mudah bagi yang memperoleh kemudahan dari Allah, sebagaimana firmanNya: Dan tidak dapat diemban selain orang yang sabar, tidak diemban kecuali orang yang mendapatkan bagian yang agung” QS. Fushilat: 35.
Para da’i hendaknya menjadi orang yang unggul dalam bergaul dan berinteraksi dengan manusia, hendaknya mereka menjadi pendengar yang baik bagi hak-hak mereka, menjadi seperti orang bisu dari kebatilan mereka, menjadi pembicara dengan kebaikan dan kebenaran, menjadi orang yang diam dengan kejahatan dan kebatilan.
Para da’i hendaknya memahami ihwal manusia, tabiat dan keberagaman mereka,agar dapat berinteraksi dengan baik atas dasar pengetahuan tersebut.Imam Ibnu Qoyyim –semoga Allah merahmatinya- menyebutkan macam-macam manusia dan mendiagnosanya dengan teliti seraya berkata: Seyogyanya setiap hamba mengambil pergaulan sesuai kebutuhannya dan menjadikan manusia 4 macam, jika ia bergaul dengan salah satu dari mereka dan tidak membedakannya, bisa jadi ia masuk ke kubang kejahatan, mereka itu adalah sbb :
1. Orang yang dipergauli seperti makanan yang diperlukan sehari semalam, mereka masih langka, mereka itulah para ulama dan aktif memberikan nasehat dan bimbingan di jalan Allah, untuk kitabNya, RasulNya dan nasehat untuk sekalian makhlukNya.
2. Orang yang dipergauli seperti obat, kamu memerlukannya saat sakit, jika kamu sedang sehat kamu tak memerlukannya, mereka adalah orang yang dibutuhkan bergaul dengannya untuk kepentingan hidup dalam pergaulan.
3. Orang yang dipergauli seperti penyakit dengan keragaman martabat dan macamnya, dan dengan perbedaan kuat atau lemahnya.
4. Orang yang dalam pergaulannya terdapat celaka dan kematian kecuali yang dikehendaki Allah (untuk selamat), mereka adalah orang yang sesat dan orang yang suka bid’ah yang menghalangi jalan Allah, syariat dan agamaNya (Tafsir al-Qoyyim, Ibnu Qoyyim, dihimpun oleh Muhammad Uwais an-Nadawi, hal: 628, dengan  sedikit perubahan teks).
Bagaimana kondisi mad’u, tetap aktifitas da’i selalu bersama manusia, maka bergaul dan berinteraksi dengan manusia merupakan keharusan aktifitas dakwah, tetapi hendaknya da’i berinteraksi dengan mereka dengan niat mengobati mereka seperti halnya seorang dokter yang berinteraksi dengan pasiennya, karenannya da’I tidak menjadikan orang yang tidak sholih sebagai teman berkonsultasi, merasa tenang dengan, mendengarkannya dan menghabiskan waktu dengan mereka, sedangkan orang-orang selain mereka maka hendaknya setiap da’I berkomunikasi dengan mereka sekadar yang diperlukan aktifitas dakwahnya bersama mereka, maka jika menghadiri mereka maka dalam rangka dakwah, jika datang ke rumahnya maka untuk berdakwah, jika menjauhkan mereka dan meninggalkan untuk beberapa saat maka hendaknya dalam rangka dakwah juga, demikianlah da’i di jalan Allah, semoga Allah memberikan taufikNya[11].

C) Pemimpin Teladan, sikap perilakunya cerminan dari hati dan kata-katanya, sebagaimana ditegaskan dalam Hadits Nabi yang lain:
عن أسامة بن زيد رضي الله عنهما قال: شمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم: يجاء بالرجل يوم القيامة فيلقى في النار، فتندلق أقتابه في النار، فيدور كما يدور الحمار برحاه، فيجتمع أهل النار عليه فيقولون: أي فلان، ما شأنك ؟ أليس كنت تأمرنا بالمعروف وتنهانا عن المنكر ؟ قال: كنت آمركم بالمعروف ولا آتيه، وأنهاكم عن المنكر وآتيه ( رواه البخاري ومسلم ).
Dari Usamah bin Zaid r.a berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: dihadirkan seseorang di Hari Kiamat, kemudian dimasukkan ke dalam api neraka, ususnya keluar (dari perutnya), seraya berputas berkeliling seperti keledai yang berputar-putar di tempatnya. Kemudian berkumpullah penghuni neraka seraya berkata: wahai Fulan, apa yang terjadi pada dirimu, bukankah engkau dahulu melakukan amar makruf dan nahi munkar pada kami. Ia berkata: Ya, aku melakukan amar makruf tetapi tidak melakukan yang makruf itu, dan melakukan nahi munkar tetapi melakukan yang kemunkaran itu ([12]).
Setiap da’i ke jalan Allah hendaknya menjadi uswah hasanah (suri teladan), mengamalkan apa yang ia serukan agar selamat dari siksa Allah swt dan murkaNya serta tidak memfitnah mad’u; karena ulama su’ duduk-duduk di pintu Syurga menyeru manusia masuk ke dalamnya dengan perkataan mereka dan menyeru ke neraka dengan perbuatan mereka, setiap kali perkataan mereka mengajak manusia “marilah kemari”, sedangkan perbuatan mereka berkata jangan kalian dengarkan mereka; Kalaulah apa yang diserukan mereka itu benar maka mereka orang pertama yang menerima ajakan mereka sendiri, sungguh  mereka secara lahiriah adalah pemberi jasa, tetapi pada hakekatnya mereka adalah perampok [13] .
Kebanyakan manusia tidak bersibuk diri dengan falsafah dan banyak cakap, tetapi mereka melihat teladan di depan mereka untuk diikuti; karenanya uswah hasanah memiliki kedudukan agung dalam Islam khususnya dalam dakwah dan untuk da’i, maka kita diperintahkan berqudwah kepada teladan yang paling agung yakni keteladanan Rasululllah saw, firman Allah swt: “Sungguh bagi kalian teladan yang baik pada Rasulullah” (QS al-Ahzab: 21), sebagaimana setiap da’i hendaknya bertekad untuk menjadi teladan yang baik bagi orang lain, satu sikap aplikatif akan lebih berpengaruh dari percakapan yang banyak dan ceramah-ceramah hebat.
Karenanya Allah swt di dalam al-Qur’an mengutuk suatu kaum yang mengajak orang berbuat baik, tetapi tidak mengamalkannya dan mereka menyerukan meninggalkan dosa-dosa tetapi mereka mengamalkannya, Allah swt mengutuk mereka sepanjang zaman sampai Kiamat, firmanNya: “Apakah kalian memerintahkan manusia dengan kebajikan namun melupakan diri kalian sedangkan kamu membaca al-kitab, tidakkah kalian berfikir” (QS al-Baqoroh: 44). Para sastrawan saja tidak suka orang yang perkataannya berlawanan dengan perbuatan, mereka ungkapkan dalam bait syair mereka:
Mansur al-Faqih berkata:
Adalah suatu kaum memerintah kami #
Dengan sesuatu yang tidak dilakukan
Gila mereka, meskipun mereka      #
Waras dan tidak hilang akal
Abul Aswad ad-Duwali berkata:
Jangan engkau melarang suatu akhlak engkau sendiri melakukannya
Aib besar bagimu jika hal itu engkau lakukan
Wahai orang yang mengajarkan manusia
Apakah engkau tidak mengajarkan dirimu sendiri
Mulailah dari dirimu cegahlah dari hawa nafsunya
Jika mampu kau lakukan itu maka engkau seorang bijak
Karenanya, jika engkau menasehati dengan kata-kata
dan  diikuti (dengan perbutan) niscaya bermanfaat pengajaran darimu [14]  .
Hadits ini juga mengingatkan kita gambaran yang buruk dan pemandangan yang menyedihkan di neraka jahanam bagi orang yang tidak menaati perintah dan tidak menjauhi larangan sedangkan dialah 'Yang Memerintah dan Melarang', suatu gambaran yang menakutkan, yakni seseorang yang ususnya keluar dari perutnya seraya berkeliling di neraka seperti halnya keledai yang berputar-putar di sebuah poros. Dipilihnya keledai sebagai tamsil sesuai dengan kondisinya yang hina dina.
Nampaknya model siksaan baginya tersebut mengambil perhatian penghuni neraka yang berkumpul di sekelilingnya dan menanyakan perihalnya [15]
Ancaman dalam hadits tersebut bukan karena menjalankan amar makruf, tetapi lantaran melakukan kemunkaran, sebab kewajiban amar makruf tidak jatuh dari orang yang sholih dan yang tidak sholih, ancaman tetap diarahkan kepada perbuatan maksiat bukan karena hal yang makruf, karena yang makruf tetap makruf (baik) [16] .
Tidak diragukan bahwa da’i ke jalan Allah semakin baik pengamalan agamanya, besar kewaro’an dan keadilannya dan semakin menjauhkan dirinya dari dosa-dosa kecil apalagi dosa besar yang mengurangi kewibawaannya, dengan berpegang teguh dengan sunnah Nabi dalam perkataan, perbuatan, perilaku dan akhlak, akan semakin bertambah penghormatan orang dan semakin dekat diterima dakwahnya.
Hal itu bukan berarti, bahwa da’i adalah seorang yang maksum (bersih dari kesalahan dan dosa) dan karena tidak maksum maka ia berhenti berdakwah, tidak demikian; karena tidak ada seorangpun yang maksum selain para Nabi dan Rasul, sedangkan da’i sama halnya dengan orang Islam yang lain kadang terjerumus kepada kemaksiatan, maka perkataannya bertentangan dengan perbuatannya. Kondisi itu suka dimanfaatkan syetan seraya berkata: Hai da’i, bagaimana kamu berdakwah sementara perbuatanmu sangat jauh dengan kata-katamu, maka sebaiknya kamu berhenti saja berdakwah, urus saja dirimu sampai bersih dan suci sehingga perbuatanmu sesuai dengan kata-kata dan nasehatmu”, ketahuilah ini adalah was-was (bisikan) syetan jangan didengar dan jangan diikuti, tetapi sepatutnya da’i itu bertakwa kepada Allah dan bertekad untuk menyesuaikan perbuatannya dengan perkataannya dan terus berdakwah di jalan Allah.

D) Pemimpin yang berakhlakul karimah, jauh dari sifat-sifat tercela seperti bohong, bakhil dan pengecut. Sabda Rasulullah saw juga menjelaskan kriteria sang da’i pemimpin tersebut:
عن جبير بن مطعم رضي الله عنه: أنه بينا هو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ومعه الناس مقبلا من حنين، علقت رسول الله صلى الله عليه وسلم الأعراب يسألونه، حتى اضطروه إلى سَمرة فخطفت رداءه، فوقف رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال: أعطوني ردائي، فلو كان عدد هذه العضاه نعما لقسمته بينكم، ثم لاتجدوني بخيلا، ولا كذوبا ولا جبانا ( رواه البخاري )
Dari Jabir bin Muth’im r.a berkata: Ketika ia bersama Rasulullah saw yang diikuti orang banyak saat kembali dari Hunain, Rasulullah didatangi orang-orang Badui yang bertanya kepadanya sampai memaksanya terpojok pada sebuah pohon, lalu merekapun menyambar selendang Rasulullah saw, beliau pun berdiri seraya bersabda: Berikan selendangku, kalaulah jumlah pohon-pohon ini (mencukupi) sebagai nikmat maka aku bagikan selendangku ini kepada kalian, sehingga kalian tidak melihatku sebagai seorang yang bakhil, dusta dan pengecut (HR Bukhari).
Setiap da’i hendaknya memiliki sifat santun, dermawan, menjauhi sifat bakhil dan emosional dan sifat- sifat tercela lain. Rasulullah saw adalah teladan para da’i, beliau orang yang paling dermawan, paling pemberani, paling jujur, sangat jauh dari sifat-sifat tercela dusta, bakhil pengecut. Betapa banyak nas-nas Qur’an dan hadits yang menjelaskan sifat-sifat tercela tersebut dan memuji sifat-sifat baik seperti pemberani dan santun di jalan Allah. Jika bakhil tercela bagi orang awam, maka bagi da’i lebih tercela lagi, lebih tercela lagi bagi seorang pemimpin, sabda Rasulullah saw: “Seburuk-buruk pada diri seseorang adalah sifat bakhil dan pengecut” (HR Abu Daud) [17] . Nabi juga bersabda: Siapa pemimpin kalian wahai Bani Salimah ? Mereka menjawab: al-Jadd bin al-Qois, kami memandangnya orang yang bakhil. Nabi pun berkata: Penyakit apa yang lebih parah dari kebakhilan ? Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya pemimpin itu tidak (layak) bersifat bakhil, tetapi pemimpin kalian adalah al-Abyadh al-Ja’d Basyar bin al-Baro bin Ma’rur” (HR. Imam Ahmad ) [18] .
Nabi Muhammad saw memandang bakhil adalah penyakit yang paling kronis; karena bakhil merupakan jenis penyakit yang bermacam-macam, ada yang berdosa besar ada pula yang tidak, firman Allah swt (yang artinya): “Janganlah orang-orang yang bakhil dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya mengira bahwa mereka baik, tetapi mereka itu buruk, mereka akan dibelenggu lantaran kebakhilannya di hari Kiamat” (QS Ali Imron: 180), firmanNya yang lain: (yang artinya) “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang congkak lagi sombong, merka adalah orang-orang yang bakhil dan mengajak orang untuk berlaku bakhil” (QS. An-Nisa: 36-37 ). FirmanNya  lagi: (yang berarti) “Ketika Allah berikan sebagian karuniaNya kepada mereka, mereka berlaku bakhil dan berpaling seraya menjadi orang-orang yang membelakangi kebenaran” (QS at-Taubah: 76-77) dan firmanNya (yang artinya) “Siapa yang kikir, maka sungguh ia kikir kepada dirinya sendiri” (QS. Muhammad: 38).
Sedangkan dusta juga merupakan sifat trcela yang lain, tidak ada alasan bagi seseorang untuk menjadikan dusta sebagai akhlaknya, hidup dengannya untuk menipu manusia, Rasulullah saw bersabda: “Mukmin bisa bertabiat dengan semua akhlak, selain khianat dan dusta” (HR. Imam Ahmad ) [19] . Sebagaimana firman Allah swt: “Orang yang berdusta adalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang bertabiat dusta” (QS an-Nahl: 105. Karenanya, setiap da’I hendaknya memiliki sifat shidiq )benar dan jujur) terhadap Allah dan terhadap sesama makhlukNya, hendaknya mereka berupaya menjauhkan sifat dusta.
Sedangkan sifat pengecut ia juga merupakan sifat tercela yang banyak dijelaskan Allah swt dalam firmanNya, antara lain: “Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) saat itu, kecuali berbelok untuk siasat perang atau bergabung dengan pasukan lain, sesungguhnya mereka kembali dengan murka dari Allah dan tempat kembali adalah neraka jahanam yang merupakan seburuk-buruk tempat kembali (QS al-Anfal: 16). FirmanNya yang lain (yang artinya): “Mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan nama Allah sesungguhnya mereka termasuk golonganmu, sungguh mereka bukan golonganmu, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang takut kepadamu. Kalau mereka mendapatkan tempat perlindungan atau goa-goa atau lobang-lobang dalam tanah, niscaya mereka akan segera pergi kesana” (QS. At-Taubah: 56-57).
FirmanNya lagi: “Maka jika diturunkan surat muhkamat (yang jelas maksudnya) dan disebutkan di dalamnya tentang perang, kamu lihat orang yang di dalam hatinya ada penyakit seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati…. (QS Muhammad: 20 ).
Apa yang tertera dalam al-Qur’an tentang perintah berjihad dan melarang lari darinya, merupakan celaan terhadap sifat pengecut dan orang-orang penakut. Sedangkan kunci dari keberanian adalah kesabaran yang mengandung makna kekuatan dan keteguhan hati, karenanya Allah berfirman: Berapa banyak kelompok yang sedikit dapat mengalahkan kelompok yang banyak dengan izin Allah, dan Allah bersama orang-orang yang bersabar (QS. al-Baqoroh: 249). Karenanya pula manusia dapat dibagi dalam 4 (empat) golongan:
1.    Orang beramal karena Allah dengan berani dan santun, mereka itulah orang-orang mukmin ahli syurga.
2.    Orang yang beramal bukan karena Allah dengan berani dan santun, maka hal itu bermanfaat baginya di dunia, namun mereka tidak memperoleh bagian (kenikmatan) di akhirat.
3.    Orang yang beramal karena Allah tanpa keberanian dan tanpa sifat santun, sungguh pada dirinya ada sifat kemunafikan dan imannya kurang sebesar amal yang dilakukannya.
4.    Orang yang beramal tidak karena Allah dan tanpa berani serta tanpa santun, sungguh ia rugi di dunia dan di akhirat.
Demikianlah, setiap mukmin memerlukan sifat-sifat mulia tersebut (yakni dermawan, benar/jujur dan berani), khususnya di saat menghadapi cobaan dan fitnah besar, mereka membutuhkan tazkiyah an-nafs (kebersihan hati) dan perbaikan diri, sebagaimana mereka memerlukan dakwah (mengajak orang lain) dan melakukan amar makruf dan nahi munkar. Memang usaha-usaha tersebut sulit dilakukan, tetapi yakinlah bahwa ia akan mudah dengan kehendak dan taufik (kemudahan) dari Allah swt  [20]  .

E) Pemimpin dakwah tidak mudah tergiur dengan hanya rayuan harta, takhta apalagi wanita, dengan mengorbankan citra dakwah.
عن كعب بن مالك الأنصاري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ما ذئبان جائعان أرسلا في غنم بأفسد لها من حرص المرء على المال والشرف لدينه(  أخرجه الترمذي في سننه وأحمد في مسنده
Dari Ka’ab bin Malik al-Anshari berkata: Bersabda Rasulullah saw: Tidaklah dua srigala yang lapar dikirim ke kumpulan kambing, lebih merusak dari pada ambisi seseorang dengan harta dan kedudukan untuk (kepentingan) agamanya [21].
Nabi saw menjelaskan dalan hadits ini bahwa ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan akan menjadi perusak bagi agamanya lebih bahaya dari meruaknya dua ekor srigala yang lapar di tengah kumpulan kambing. Tamsil ini mengandung tujuan peringatan dari kejahatan ambisa terhadap harta dan kedudukan.
Ambisi terhadap harta ada dua bentuk:
1. Cinta mendalam kepada harta dengan upaya keras berlebihan dari hal yang mubah, hal itu dilakukan jika tidak memberikan hak Allah dari harta tersebut ia akan disiksa dengan mengumpulkannya di dunia dan di berikan sangsi azab atas amalnya di akhirat.
2. Harta yang dikumpulkannya, ambisi mencari harta dari jalan yang haram serta menolak hak-hak yang wajib dari harta itu, inilah yang disebut kebakhilan yang tercela, firman Allah: ( Siapa yang terjaga kebakhilan dirinya mereka itulah orang-orang yang beruntung) QS al-Hasyr: 9. Nabi  saw bersabda: Takutlah kamu dengan kebakhilan, karena ia telah merusak orang sebelum kalian, membawa mereka dalam pertumpahan darah dan mencoreng kehormatan mereka”. Hakikat bakhil adalah kecenderungan jiwa kepada yang diharamkan Allah, tidak puas dengan apa yang dihalalkanNya. Maka siapa yang merasa cukup dengan yang mubah dia adalah mukmin sejati, sedang orang yang melewati batas itu kepada yang dilarang maka itulah bakhil yang tercela, hal itu bertentangan dengan iman seperti dikatakan dalam sebuah atsar: Tidak akan berkumpul antara kebakhilan dengan iman pada diri seorang mukmin”.
Sedangkan ambisi kedudukan lebih dahsyat merusaknya dari serakah dengan harta, karena mengejar kedudukan dan cinta jabatan dan kecongkakan lebih bahaya terhadap seorang hamba dari mengejar harta dunia, bahayanya lebih hebat dan bersikap zuhud dari kedudukan dan jabatan ini lebih sulit, karena harta dikejar dalam rangka mengejar jabatan dan kedudukan. Ambisi kedudukan juga dapat dibagi dua:
1. Mengejar kedudukan dengan otoritas, kekuasaan dan harta, macam ini lebih bahaya, biasanya bentuk ambisi ini menolaj kebaikan akhirat dan kemuliaannya, sebagaimana firmanNya: (Itulah kehidupan akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan ketinggian di dunia dan tidak merusak, dan akibat kebaikan bagi orang-orang bertakwa) QS. al-Qoshos 83. Sebagian salaf berkata: Tidaklah seorang yang ambisi terhadap kekuasaan lalu ia kembali baik”. Biasanya ambisi kedudukan dan kepemimpinan berubah menjadi ambisi jabatan sebelum mendapatkannya, setelah ia mencapai jabatannya maka ia ingin tetap dalam jabatannya. Diantara ambisi kedudukan adalah suka tampil dan suka memerintah dan melarang dengan cara congkak dan menghina orang dalam meminta kebutuhannya, pada hakikatnya hal itu adala kesombongan yang hanya boleh dimiliki Allah, diantara cinta keududkan adalah cinta para pejabat, ingin dipuji, kadang-kadang juga minta dipuji orang lain dan jika mereka tidak mau memuji, mereka dianiaya, hal itu termasuk makna firman Allah saw: ( Jangan kamu mengira orang-orang yang senang dengan apa yang diberikan dan suka dipuji dengan apa yang tidak mereka lakukan, jangan mengira mereka selamat dari azab) QS Ali Imron: 188. Meminta pujian dari sesama dan mencintainya serta perolehan siksa karena meninggalkannya adalah milik Allah semata. Kepada yang diberi karunia kjabatan dan wilayah kekuasaan hendaknya bertakwa kepada Allah dan menggunakan kedudukannya untuk berdakwah di jalan Allah,melakukan amar makruf, nahi munkar dan menegakkan keadilan untuk semua manusia, siapa yang melakukan itu niscaya akan memperoleh pahala besar dari Allah swt.
2. Macam ambisi kedudukan yang lain adalah meminta posisi mulia dan tinggi atas manusia dengan urusan-urusan agama, seperti ilmu, dakwah, zuhud dan amalan, macam yang ini adalah lebih hina dan lebih buruk; karena urusan agama dilakukan dalam rangka meraih harapan-harapan dari Allah semata, harapan derajat yang tinggi, kenikmatan abadi, taqarrub kepada Allah, tetapi jika hal-hal ini dimaksudkan untuk mencari kekayaan duniawi, atau agar menjadi orang terkenal dengan ilmu dan zuhud serta kesholihannya, dan mencari muka agar dihormati, selalu dikunjungi, bahkan mungkin dimintakan keberkahan dirinya atau ahli fatwa, ini semua adalah penyakit dan kejahatan dalam diri –semoga Allah memelihara kita dari kejahatan itu-, tidak akan selamat dari kejahatan ini selain ia yang menghadapkan dirinya kepada Allah secara jujur dan ikhlas. Imam Sofyan ats-Tsaudri r.a pernah menulis nasehat kepada Abbad bin Abbad seraya berkata: “Hendaknya kamu menjauhi diri dari sikap orang yang ingin perkataannya dilaksanakan, atau disiarkan atau didengar, jauhilah olehmu cinta jabatan, karena seseorang yang cenderung kepada jabatan biasanya kecintaannya itu melebihi kecintaannya kepada emas dan perak. Hal ini merupakan pintu yang gelap, tidak dapat melihatnya selain seorang alim ulama yang memiliki mata hati”.
Sesungguhnya sebagian orang  yang sibuk dengan dakwah di jalan Allah dalam kerja-kerja pergerakan dakwah memulia kerjanya dengan baik, ketekunan dan ghiroh kepada agama dan bekerja membantu umat Islam: tetapi tidak sedikit diantara mereka dengan cepat berubah menjadi seperti srigala yang berbentuk manusia, kecintaannya kepada harta, kedudukan, kemuliaan dan cinta jabatan melupakan dirinya dari masa-masa lalu yang baik dan prikehidupannya dalam mencintai umat Islam, sikap tawadhu’nya dengan sesama, membela mereka, bahkan memberikan manfaat untuk mereka; kini ia telah melupakan kebaikan itu semua, cintanya kepada harta dan kedudukan membawanya kepada pertumpahan darah, menghalalkan yang haram, mencintai sesuatu membuatnya buta dan tuli. Sungguh orang yang menempuh jalan ini keimanan tidak akan tertancap lagi dalam hatinya, tidak akan memperoleh sifat-sifat “Robbaniyah” dan tunduk kepada (hukum) Allah serta sikap tawajjuh (menghadap) kepada Allah secara benar.
Hal demikian bisa melanda setiap manusia baik individual maupun jamaah, maka wajib bagi para da’I bersikap arif dalam penugasan urusan kepemimpinan kepada kader-kader mukmin yang jujur zuhud, cinta akhirat yang senantiasa mengharap ridho Allah swt, sebenarnya mereka mudah dicari (banyak) jika para da’I berupaya mencari dengan sungguh-sungguh. Hendaknya mereka juga berhati-hati masuknya orang-orang yang rakus dan ambisius (jabatan) ke dalam posisi pimpinan (organisasi dakwah) meskipun mereka suka berwarna dengan bukan warna aslinya, berpura-pura. Tetapi insya Allah orang-orang semacam itu akan diketahui oleh orang-orang mukmin yang memiliki firasat baik. Hanya bagi Allah segala urusan sebelum dan sesudahnya, Dialah Robb orang-orang yang baik dan pembimbing orang-orang mukmin [22] .
F- Da’i pemimpin yang mampu berdakwah dengan cinta.
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah menjelaskan, bahwa "Cinta adalah sikap mendahulukan kemauan orang yang dicintai daripada orang lain. Cinta adalah menyesuaikan diri dengan orang yang dicintai di hadapan atau di belakangnya. Cinta adalah menyatunya kemauan si pecinta dengan yang dicintai. Cinta adalah mendahulukan kemauan orang yang dicintai daripada kemauan dirinya. Cinta juga berarti upaya optimal untuk menyenangkan orang yang dicintai" [23].
Da'i professional memahami bahwa cinta dan indikasinya sebagaimana dijelaskan Ibnu Qoyyim, merupakan pilar utama dalam menjalankan misinya. Karenanya berdakwah dengan cinta adalah salah pendekatan dakwah yang mampu memberikan pengaruh bagi dakwahnya kepada mad'u. Hal ini pula yang dipahami dari taujih Robbani (arahan Allah) kepada guru dan teladan para da'i professional, Rasulullah saw, juga arahan kepada umatnya yang mengikuti jejak langkahnya:
"Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri darimu" (QS. Ali Imran: 159).
"Fazhzhan" artinya berkata kasar [24]. "Ghalizh al-Qolbi" artinya bermuram durja, tidak semangat dalam kebaikan, tidak ada rasa rindu dan kasih saying" [25].
Siapapun yang memberikan sesuatu kepada seseorang dengan hati kesal dan penuh kebencian, tanpa merasa kasih dan cinta; niscaya pemberiannya ditolak dan tidak disenangi. Demikian da'i yang memberikan pelajaran kepada orang lain tanpa ada perasaan cinta dan kasih kepada mad'u, apalagi jika ada kebencian dan ketidaksukaan kepada mad'u, sudah dapat dipastikan misi dakwah dengan pendekatan seperti tersebut tidak akan memberikan pengaruh berarti, bahkan mad'u akan manjauh dari dirinya dan menolak 'mentah-mentah' dakwahnya.

Tugas & Misi Rijal Dakwah.
Tugas utama Rijal Dakwah adalah mengajak kepada kebaikan, amar makruf dan nahi munkar, sebagaimana firman Allah SWT :
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah segolongan diantara kalian berdakwah kepada al-khoir, melakukan amar makruf nahi munkar, dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan (QS. Ali Imron: 102-104).
Ayat 102 di atas merupakan ayat yang menyatakan kewajiban berdakwah. Sebagian ulama berpendapat bahwa kewajiban dakwah hanya kepada sebahagian orang saja (fardhu kifayah), namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kewajiban dakwah adalah fardhu ‘ain, setiap orang berkewajiban menyampaikan dakwah Islam sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Kata (min) dalam kalimat (minkum) menunjukkan makna (tab’idh) yang berarti sebahagian, maksudnya bahwa sebahagian orang saja yang berkewajiban dakwah, karena tidak semua orang mampu melakukan dakwah dengan benar dan baik. Pendapat ini diantaranya diungkapkan oleh Imam Zamakhsyari. Mereka itulah yang disebut sebagai Pemimpin Dakwah ( Rijal Da’wah).
Pendapat lain memandang bahwa kata (min) dalam kalimat (minkum) juga menunjukkan makna (bayan) yang berarti keterangan, bahwa kewajiban dakwah dilakukan oleh kalian, pelaksanaannya sesuai kemampuannya, sebagaimana Rasulullah sabdakan “sampaikanlah dariku walau satu ayat“, maksudnya bahwa ajaran Islam yang universal dan komprehensif ini harus disebarkan kepada seluruh manusia, tidak hanya dengan cara berceramah, tetapi juga dengan keteladanan. Pendapat ini diantaranya didukung oleh Imam Fakhrurrozi dalam tafsirnya “at-Tafsir al-Kabir Wa Mafatih al-Ghoib”.
Da’wah ilal Khoir Ibnu Katsir adalah dakwah kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (hadits); beliau mengutip periwayatan Abu Ja’far al-Baqir dalam riwayat Ibnu Mardawaih([26]).
Imam ar-Razi mengatakan, bahwa dakwah utama adalah menyeru kepada keimanan kepada Dzat Allah, sifat-sifatNya dan penyucianNya dari segala penyerupaan dangan alam.  Dakwah tersebut mengandung dua kegiatan yaitu perintah mengerjakan semua yang layak dan makruf, juga membenci dan menjauhi segala yang tidak layak dan munkar.
Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan bahwa jalan keberuntungan dan kemenangan hakiki adalah dengan cara aktif dalam dakwah, amar makruf dan nahi munkar (wa ulaaika humul muflihun); penegasan tersebut tersurat dalam kata (Hum) yaitu dhomir untuk orang ketiga, yang diapit oleh isim isyarah ( ulaaika ) sebagai mubtada (subyek) dan kata (al-muflihun) sebagai khabar (kata keterangan).
“jika suatu kelompok atau komunitas yang berada dalam lingkungan yang baik, saling membantu, bekerja sama dalam menyeru kepada kebaikan, mencegah yang munkar.jika dengan ditegakkannya kebenaran maka segala aspek kehidupan akan terhindar dari keankaramurkaan dan segala bentuk kemunkaran. Mereka itulah yang mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat” ([27]).
Tugas Rijal Da’wah juga Tabligh yang berarti menyampaikan pesan-pesan kepada orang lain, agar pesan-pesan tersebut dipahami dan diaplikasi secara baik dan benar, sehingga peran tabligh ini dapat terealisasi dengan baik kepada mad’u (komunikan) dan dapat diterjemahkan dalam sikap perilaku baik.
Peran tablig sebagaimana dijelaskan di atas memerlukan orang yang mampu melaksanakan dengan metode dan media yang efektif dan efesien; efektif artinya pesan-pesan dapat terlaksan dan memberikan pengaruh yang signifikan. Efesien berarti pelaksanaan tersebut dilakukan secara baik namun seminim mungkin tenaga dan energi yang dikeluarkan.
Dengan kata lain, tugas tablig seperti ini hanya dapat dilakukan oleh para pengemban amanat dakwah yang profesional.
Allah SWT memberikan isyarat dalam firmanNya:
* $pkšr'¯»tƒ ãAqߧ9$# õ÷Ïk=t/ !$tB tAÌRé& šøs9Î) `ÏB y7Îi/¢ ( bÎ)ur óO©9 ö@yèøÿs? $yJsù |Møó¯=t/ ¼çmtGs9$yÍ 4 ª!$#ur šßJÅÁ÷ètƒ z`ÏB Ĩ$¨Z9$# 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÏÐÈ    
"Wahai Rasul, sampaikan (tablig) apa yang diturunkan kepadamu dari Allah, jika engkau tidak lakukan berarti engkau tidak menyampaikan (tablig) risalahNya, Allah menjagamu dari (gangguan) manusia, sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir” (QS. Al-Maidah: 67 ).
Tablig tidak sekedar menyampaikan pesan tanpa upaya keras penyampaiannya dapat diterima oleh mad’u dan direalisasi dalam sikap dan perilaku mereka.  Karena jika hanya sekedar menyampaikan, maka dakwah tidak memerlukan kemunculan para pahlawan dakwah yang berjuang dan berkorban demi kesuksesan dakwah Allah SWT.
Para rasul adalah sosok figur dakwah profesional yang sengaja diutus Allah SWT untuk menyampaikan (tablig) pesan-pesanNya kepada umat manusia; karenanya mereka dibekali dengan perbekalan yang sangat matang dan prima untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi saat perjuangan.
Dapat dipahami bahwa tablig dalam arti seluas-luasnya adalah tugas utama Da’i Profesional. Atau diartikan secara lebih mikro, bahwa tablig adalah bagian dari kegiatan dakwah, seperti yang ditulis al-Bayanuni ketika mendefinisi dakwah, bahwa “dakwah adalah tabligh (menyampaikan) dan ta’lim (mengajarkan) al-Islam kepada manusia serta (berupaya keras) mengajak mengamalkan dalam realita kehidupan” [28].

a) Misi Menegakkan Keadilan.
Saat Rasulullah berhasil membebaskan kota Mekkah ( Fathu Mekkah ) beliau memanggil Utsman bin Tolhah –pemegang kunci Ka’bah- seraya berkata: ”Wahai Utsman, Berikan padaku kunci Ka’bah. Ketika Utsman mengulurkan tangannya untuk memberikan kunci, tiba-tiba al-Abbas –paman Nabi- berkata: Ya Rasulullah, himpunlah padaku kunci Ka’bah itu dengan tugas pelayanan logistik (siqoyah). Mendengar itu Utsman menggenggam tangannya menolak memberikan kunci tersebut. Lalu Rasulullah bersabda: Berikan kunci itu kepadaku. Segera Utsman mengulurkan tangannya kembali. Tetapi al-Abbas kembali berkata seperti semula, Utsman pun mengurungkan niatnya. Kemudian Rasulullah bersabda: Wahai Utsman, jika engkau beriman kepada Allah dan Hari Akhir, serahkan kunci itu. Maka kunci itupun diserahkan kepada beliau, Utsman berkata: Peliharalah amanat Allah. Tidak lama kemudian Rasulullah berdiri dan berjalan menuju Ka’bah untuk masuk ke dalam Ka’bah. Di dalam Ka’bah Nabi melihat patung Nabi Ibrahim a.s, serta merta beliau menghancurkannya seraya bersabda: Celaka orang-orang musyrikin, Wahai sekalian manusia, ini adalah kiblat kita. Setelah itu Nabi keluar dan melakukan thawaf sebanyak satu (atau dua) kali putaran. Saat itulah turun malaikat Jibril dengan membawa pesan Ilahi agar Nabi menyerahkan kembali kunci Ka’bah kepada Utsman, seraya membaca ayat 58 surat an-Nisa [29]. FirmanNya:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan jika kalian memutuskan hukum, maka hendaknya berlaku adil, sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat ( QS. an-Nisa: 58 ).
Walaupun ayat ini turun sehubungan dengan kasus Utsman bin tolhah, namun para mufassir mengatakan bahwa ayat ini adalah perintah Allah kepada manusia beriman untuk menjaga dan menyampaikan amanat serta berlaku adil dalam menegakkan hukum bagi seluruh manusia. Ada juga sebagian mufassir dari kalangan shahabat yang mengatakan, bahwa ayat ini difokuskan untuk para pemimpin dan penegak hukum [30].
“Pesan-pesan dalam ayat ini merupakan kewajiban syar’i bagi umat Islam dan merupakan akhlak mulia bagi umat ini yaitu menjaga / menyampaikan amanat dan menegakkan hukum secara adil, berdasarkan sistem dan ajaran Allah swt” [31].
Tujuh orang yang akan mendapat perlindungan Allah pada hari yang tak ada perlindungan selain dari Allah, di antaranya pemimpin yang adil (HR. Bukhari Muslim. Nabi bersabda: “Para pemimpin yang adil di akhirat kelak berdiri tegak di atas mimbar-mimbar yang bercahaya” (HR.Muslim) [32]. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah atsar, bahwa berlaku adil satu hari sama halnya dengan beribadah 40 tahun lamanya.
Arahan-arahan Robbani inilah yang melandasi kepemimpinan Islam sepanjang sejarah kemanusiaan.
Ketika dengan jelas Allah mengaitkan keadilan dengan persamaan antara kelompok sosial, tanpa membedakan antara orang yang berstatus sosial tinggi atau rendah, atau antar sayyid dengan yang bukan sayyid, tidak dikenal dalam masyarakat Islam kaum “agamawan” apalagi feodalisme. Keterkaitan tersebut bukan sekedar konsep-konsep teoritis belaka, tetapi ia merupakan bukti konkrit dalam sikap dan perilaku para pemimpin Islam dalam sejarah.
Vonis potong tangan tetap dijatuhkan kepada wanita terpandang di masa Nabi bernama Fathimah al-Makhzumiyah; meskipun Usamah bin Zaid diminta oleh beberapa tokoh Islam untuk menjadi juru bicara kepada Rasulullah meminta grasi, tetapi Rasulullah saw berkata dengan tegas: “Apakah engkau membantu seseorang dalam hukum ketentuan Allah ( hudud ), sungguh orang-orang sebelum kamu dibinasakan karena mereka membiarkan orang-orang terhormat dari mereka dalam kasus-kasus pencurian ( korupsi ), tetapi jika rakyat mencuri mereka tegakkan hukum, demi Allah jika Fathimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan saya potong tangannya” (al-Hadits).
Suatu saat Rasulullah memeriksa barisan mujahidin yang akan diberangkat ke medan perang, beliau sempat menyentuhkan tongkatnya kepada seorang dari mereka, orang itupun berkata: Engkau telah menyakitiku wahai Rasulullah, serta merta beliau memberikan tongkatnya seraya bersabda: Balaslah aku .. (HR. Bukhori). Dua contoh kasus yang membuktikan komitmen pemimpin Islam dalam mengemban amanat kepemimpinan dari Allah SWT kepada umat manusia.
Karena itu mencermati ayat di atas, kalau pada awal ayat amanat dan keadilan dinyatakan dengan kata “amar” (perintah) tetapi pada penutup ayat dinyatakan dengan sebutan “mau’izhoh” (nasehat). Diantara hikmahnya adalah bahwa dengan sebutan nasehat dan bimbingan dari Allah diharapkan amanat dan keadilan dapat dilaksanakan dengan lapang dada dan ketulusan hati; ternyata ia bukan hanya perintah, tetapi ia merupakan nasehat yang baik dari Sang Pencinta hambaNya [33].

b) Misi Menebar Rahmat Semesta.
Allah SWT berfirman :
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ  
"Dan tidaklah Kami utus engkau (hai Muhammad) selain sebagai rahmat bagi sekalian alam" (QS al-Anbiya: 107).
Rahmat (kasih sayang) seuntai kata sejuk yang dirindukan setiap insan dari manapun kasih sayang itu datang. Kasih sayang tidak sekadar untaian kata manis yang didambakan, lebih dari itu ia merupakan kebutuhan hidup manusia untuk saling menyayangi, agar mereka mampu hidup secara seimbang dan sejahtera.
Dalam al-Qur'an, rahmat sebuah kata yang mengandung segala unsur kebaikan dan keindahan. Al-Damighani dalam kajiannya "Qomus al-Qur'an" menyatakan 14 makna dari kata RAHMAT dalam ayat-ayat al-Qur'an antara lain:
1.            Rahmat ialah Islam itu sendiri, seperti dalam surat al-Insan  (Dia Allah memasukkan siapa yang dikehendakiNya ke dalam rahmatNya…) sebagaimana Allah firmankan dalam surat-surat al-Fath, al-Baqarah  dll.
2.            Rahmat juga bermakna Syurga, seperti dalam firmanNya "dan sedangkan yang putih wajahnya mereka berada dalam rahmat Allah" yakni SyurgaNya. Demikian firmanNya dalam ayat-ayat lain.
3.            Makna rahmat yang lain adalah Hujan, Allah berfirman: "Dan Dia Allah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmatNya" (QS al-A'raf: 57) yaitu: hujan. Seperti tertera dalam surat al-Furqan, ar-Rum dsb.
4.            Rahmat juga berarti kenabian, firman Allah swt dalam surat Shad:  "Apakah mereka memiliki kunci-kunci rahmat Tuhanmu Yang Maha Perkasa lagi Maha Pemberi". Rahmat di sini adalah kenabian. Hal senada difirman Allah dalam surat az-Zukhruf:  "Apakah mereka mampu menganugrahkan rahmat Tuhanmu" yakni kenabian.
5.            Rahmat juga bermakna kenikmatan. FirmanNya: "(Yang dibacakan itu adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hambaNya Zakaria". Rahmat dalam ayat ini berarti kenikmatan. Demikian firmanNya dalam surat-surat: al-Kahfi, Ali Imran, Yunus dll
Makna-makna lain dari kata Rahmat dalam al-Qur'an adalah: rezki, pertolongan dan kemenangan, keselamatan, kecintaan, iman, taufiq (kemudahan), Isa a.s dan Nabi Muhammad saw sendiri adalah rahmat ([34]).
Al-Asfahani dalam kajiannya[35] membedakan antara rahmat dari Allah yang bermakna ihsan (berbuat bajik secara bijak), sedangkan rahmat manusia adalah riqqoh (rasa iba) dan ta'athuf (simpatik). Karenanya sifat ar-Rahman hanya milik Allah swt semata, sebab hanya Allah yang mampu memberikan karuniaNya kepada semua makhlukNya di dunia tanpa pilih kasih. Namun Allah mengkhususkan rahmatNya untuk orang beriman di Akhirat kelak, penjelasanNya: "…Rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, Aku akan tetapkan (rahmat-Ku) untuk orang-orang bertakwa…" QS al-A'raf: 156.
Islam sebagai agama rahmat telah banyak memberikan bukti nyata dalam realita kehidupan manusia, karena Islam adalah manhaj (sistem hidup) yang sesuai dengan fitrah dan kemampuan yang dimiliki manusia. Tak satu ajaran Islam pun yang di luar batas kemampuan manusia. Meskipun pada awalnya kerahmatan Islam kadang tidak dirasakan sebagian orang, karena mungkin kerahmatan tersebut memang tidak sejalan dengan realita hidup mereka yang paradoks dengan fitrah. Tetapi dengan seringnya interaksi manusia dengan ajaran Islam tersebut, perlahan tapi pasti mereka merasakan keakraban, kesejukan dan kedamaian Islam ([36]).
Kerahmatan Islam tidak hanya tercermin pada substansi Islam itu sendiri, tetapi cerminan itu terefleksi dalam kehidupan para pemimpin Islam, khususnya imam Rijal Dakwah Nabi Muhammad saw, yang diberi julukan "Roufun Rohim" (Penyantun dan Pengasih) sebagaimana dinyatakan sendiri oleh beliau "Sungguh aku adalah rahmat dan petunjuk jalan" (HR. al-Baihaqi, ad-Darimi dari Abu Hurairah). Beliau pun meninggalkan pesan monumental tentang rahmat itu "Barangsiapa yang tidak memiliki rasa kasih sayang kepada manusia, maka Allah tidak akan sayang kepadanya" HR. Muttafaq 'Alaih).
Kerahmatan tersebut juga mewujud dalam kehidupan para pengikut Nabi seperti yang dinyatakan Allah "Ruhama' Bainahum" (mereka saling kasih) dengan sikap saling menghargai, menghormati, tidak menganiaya dan tidak merugikan orang lain, saling membantu dan membahu, karena mereka seakan satu jasad yang satu anggotanya terasa sakit dengan apa yang dirasakan anggota lainnya.
Suatu saat Rasulullah saw sedang duduk di beranda rumahnya, lewatlah orang-orang yang mengusung keranda jenazah, beliaupun berdiri (karena rasa hormat terhadap jenazah tersebut). Namun ketika para shahabat memberi tahu Nabi seraya berkata: Wahai Nabi, itu adalah jenazah orang Yahudi ?!!". Nabi saw menanggapinya: ”Alaisat Nafsan?” ("Bukankah ia juga jiwa manusia") (HR. Imam Bukhari).
Sikap toleran itu juga nampak pada sikap-sikap shahabat Rasulullah saw sebagai pengikutnya yang setia. Ketika Abdullah bin Amr menyembelih kambing untuk keluarganya. Dia bertanya: "Apakah kalian sudah memberikan daging itu kepada tetangga kita yang Yahudi itu ? Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: "Jibril tidak henti-hentinya memberikan wasiat kepadaku supaya berbuat baik kepada tetangga. Sampai-sampai saya menyangka bahwa tetangga akan mendapatkan warisan (dari hartaku)" HR Abu Dau, Tirmizi dari Mujahid.
Rahmat Islam rupanya benar-benar lil-'alamin (bagi semesta alam). Tidak hanya manusia, tetapi hewan, tumbuhan dan lingkungan hidup, semua memperoleh rahmat Islam. Ibnu Abbas meriwayatkan, ada seorang lelaki yang merebahkan kambingnya sementara dia masih menajamkan pisaunya. Lalu Nabi bersabda: "Apakah engkau ingin membunuh kambing itu dua kali ? Jangan lakukan itu. Tajamkan pisaumu sebelum kamu merebahkan kambingmu".
Ibnu Sirin juga meriwayatkan, bahwa Umar melihat seorang sedang menyeret kaki kambing untuk disembelih, seraya menegur orang tersebut: "Jangan lakukan itu!!! giringlah hewan itu menuju kematiannya dengan baik" HR Imam an-Nasai.
al-Kattani dalam buku at-Taratib al-Idariyah, meriwayatkan, bahwa Umar bin Abdul Aziz suatu saat mengirim surat kepada Hayan di Mesir, katanya: "Saya mendengar di Mesir terdapat unta pengangkut yang setiap seekor unta mengemban 1000 kati. Jika suratku ini datang, maka jangan sampai aku melihat seekor untapun yang mengangkat lebih dari 600 kati.
Kini banyak orang mendambakan rahmat kasih sayang. Betapa tidak, nyaris setiap hari mereka menyaksikan adegan-adegan arogan, brutal dan memilukan. Tawuran saat ini dilakukan semua lapisan masyarakat, antar pelajar, kelompok masyarakat, etnis, bahkan antar warga dan aparat dan antar aparat sendiri. Adegan-adegan tersebut kini menjadi fenomena, sedih memang, tapi ini realita.
Jika setiap kita mampu mengaktualisasi Islam yang Rahmatan itu dalam setiap nafas yang keluar, dalam seluruh langkah-langkah kehidupan kita, dan dalam setiap aktifitas kerja kita untuk meraih ridhoNya. Kuncinya: Yakin dan Sabar. Firman Allah SWT:
$oYù=yèy_ur öNåk÷]ÏB Zp£Jͬr& šcrßöku $tR͐öDr'Î/ $£Js9 (#rçŽy9|¹ ( (#qçR%Ÿ2ur $uZÏG»tƒ$t«Î/ tbqãZÏ%qムÇËÍÈ
   Dan Kami jadikan dari mereka sebagai Imam-iman (pemimpin) yang mendapat pentunjuk dari Kami (pemimpin yang shaleh), ketika mereka bersabar dan yakin dengan ayat-ayat Kami (QS. As-Sajdah 32: 24).

Peran Rijal Dakwah.
Dua misi besar ( menegakkan keadilan dan menebar rahmat semesta ) ini menjadikan para Rijal Da’wah mengemban peran-peran strategis bagi umat, yaitu :
a)            Tablig, yaitu: peran menyampaikan Islam secara internal maupun eksternal. Pada  tataran internal dakwah berupaya melakukan sosialiasasi Islam kepada kaum muslimin, yang bertujuan semakin meningkatnya kualitas dan kuantitas informasi Islam yang diterima kaum muslimin. Sedangkan pada tataran eksternal, dakwah sebagai organisasi berbasis Islam “Rahmatan Lil-’alamin“ harus menembus kantong-kantong daerah khususnya daerah terbelakang lyang belum dan atau kurang informasi Islam. Sebagai organisasi dakwah Islam juga tidak membatasi dakwah hanya pada wilayah di Indonesia; karena juga dituntut  untuk ikut bertanggung jawab membuka lahan-lahan dakwah di Asia Pasifik seperti Laos, Kamboja, Vietnam, Korea, New Zealand, dan khususnya negara-negara Asia Tenggara.
b)            Tau’iyah, yaitu: peran mengembangkan wa’yu Islami (kesadaran Islami) kepada umat terhadap tanggung jawab dan peran hidup bagi setiap muslim, agar mampu mengekspresikan diri selaku muslim serta mengaktualisasikan keislamannya.  Dengan kesadaran yang tinggi dan kemampuan ekspresi dan aktualisasi Islam diharapkan selanjutnya mampu memberikan kontribusi positif bagi kehidupan bernegara, yakni membangun potensi umat di Indonesia, bahkan membangun bangsa dan negara, termasuk memelihara integrasi bangsa dan negara.
c)             Taujih, yaitu: peran mengarahkan potensi umat yang telah sadar untuk memberikan kontribusi positif kepada umat, agar potensi tersebut lebih efektif dan efesien. Peran taujih juga mencakup upaya mengarahkan orientasi umat agar dapat dikerahkan, dikoordinasi, dikonsolidasi dan dimobilisasi untuk mencapai berbagai kebaikan (al-khoirot). Potensi umat yang ditaujih ini dimaksudkan agar tidak terakumulasi pada lembaga-lembaga yang tidak Islami, atau pada organisasi dakwah yang tidak jelas prinsip dan orientasinya. Demikian dimaksudkan agar potensi tersebut tidak menjadi mubadzir atau overlapping dalam menangani permasalahan-permasalahan umat.
d)            Tarsyid / Irsyad, yaitu: peran bimbingan terhadap potensi umat yang telah ditaujih, agar selamat dalam menghadapi mun’athofat (jalan berliku-liku) yang penuh dengan ’jebakan-jebakan’, dan selamat dari inhirofat (penyimpangan) karena iming-iming dan rayuan menggoda untuk menjerumuskan dakwah dan pembelanya. Peran tarsyid/irsyad ini dikemas dalam program silaturahm dan pertemuan terprogram antar para da’i dalam rangka memelihara pemikiran dan meningkatkan wawasan keislaman, mengarahkan emosi, menguatkan mental dan meningkatkan kualitas ketakwaan dan spritualitas da’i.
e)            Himayah, yaitu: peran memelihara dan menjaga eksistensi dan kemampuan dakwah Islam dalam melaksanakan misinya. Peran advokasi ini mencakup upaya-upaya pemeliharaan da’i terhadap:
ü     nilai-nilai dakwah dari upaya tahrif  (perubahan dan penyimpangan)
ü     Memelihara umat dari upaya-upaya taj’zi’ah (sektarianisme) yang dapat mengakibatkan umat terpecah dalam sekte-sekte.
ü     Memelihara ajaran Islam dari upaya-upaya tasywih (distorsi ajaran), yang dapat menimbulkan isa’atu sum’atul Ummah (memperburuk citra / stigmatisasi)[37] .

Kepemimpinan Islam Dalam Panggung Sejarah.
Saat umat manusia dilanda berbagai krisis dan kemerosotan dalam berbagai bidang, krisis dalam pandangan hidup, pemikiran, perasaan mereka tertutup oleh nafsu duniawi yang membabi buta, nilai kemanusiaan saat itu lenyap bahkan berubah menjadi kebinatangan; pembunuhan jiwa, mengubur orang hidup, penganiayaan adalah salah satu sisi kehidupan mereka.
Saat itu kelahiran ‘Juru-Selamat’ yang ditunggu-tunggu muncul ke permukaan bumi, pemimpin umat manusia yang mengalami krisis multi dimensi tersebut tengah dinantikan; persis apa yang dijelaskan Rasulullah saw sendiri dalam sabdanya: “saya ini bagaikan seorang yang menyalakan api. Ketika api itu menerangi ruangan sekitarnya, maka serangga-serangga dan binatang-binatang melata yang berada di sekitar api itu nyaris terjatuh ke dalam api, lalu orang tersebut berusaha menahan binatang-binatang tadi, tetapi mereka justru menyerangnya, maka terjatuhlah. Demikian, aku berusaha menahan kalian agar tidak terjerumus ke dalam neraka, tetapi kalian justru menjerumuskan diri ke dalam api neraka” (HR. Bukhari Muslim).
Sosok pribadi Nabi Muhammad saw yang memiliki kebersihan jiwa, kemuliaan akhlak dan ketinggian moralitas adalah sosok yang dinantikan umat manusia saat itu. Beliau merupakan figur yang tangguh, tegar dan tabah, sosok figur yang dibutuhkan umat manusia untuk menuntun mereka ke jalan yang lurus, mewujudkan keadilan, menumpas segala bentuk kezhaliman, menyebarkan kedamaian dan memerangi berbagai jenis penyimpangan, sehingga agama Allah berdiri tegak di antara agama-agama yang lain, karena “Kalimatullah (agama Allah) adalah tertinggi, tidak ada yang lebih tinggi darinya” (al-hadits).
Seorang penulis Barat Edward Montet dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab “Hadhirul Islam wa Mustaqbaluhu” (Islam Masa Kini dan Masa Depannya), menyatakan: “Muhammad telah melarang pembunuhan manusia, mengubur anak perempuan hidup-hidup, melarang minuman keras dan bermain judi. Semua perbaikan itu memiliki dampak positif yang tiada terhingga dalam perbaikan moral bangsa, sehingga layaknya kalau sekiranya Muhammad ditempatkan pada deretan pembesar yang berhati baik terhadap umat manusia”.
Hal senada juga ditegaskan oleh Alfonso Athein Dinet (Paris 1861-1929) yang menulis dalam bukunya “Muhammad Rasulullah” hal: 345: “Agama Muhammad telah membuktikan sejak pertama bahwa ia adalah agama paripurna yang sesuai dengan semua tempat dan zaman. Ajarannya sesuai dengan akal, karena memang agama fitrah, sedang fitrah itu sendiri sesuai dengan semua tingkat peradaban”.
Jikalau pengakuan tersebut hanya sebatas pengakuan belaka, tanpa dilandasi keyakinan yang kokoh dan tindak lanjut berupa kerja nyata, maka dikhawatirkan hal itu akan menjadi fatamorgana yang merupakan sikap kekufuran atau sikap kemunafikan. Hal demikian lebih dilatarbelakangi oleh faktor terminologi iman itu sendiri, yakni keyakinan, pengakuan dan pembuktian; meyakini dengan hati, mengakui dengan pengungkapan ikrar lisan atau tulisan dan membuktikannya dengan amal perbuatan dan kerja nyata.
Karenanya kelahiran Nabi sebenarnya bukan sekadar kelahiran ‘cabang bayi’ yang dinantikan oleh umat manusia yang haus akan kesejukan dan kedamaian hidup. Tetapi kelahiran Nabi Muhammad saw merupakan simbol persiapan yang disetting dan direkayasa Allah swt dalam rangka memperbaiki hidup dan kehidupan.
Hal itu bukan berarti pembentukan kepribadian mulia dan luhur yang dimiliki Nabi Muhammad saw tidak relevan dengan usaha-usaha manusiawi. Karena itu bi’tsah (pengangkatan nubuwah) Nabi Muhammad saw disaat beliau berusia 40 tahun. Seakan Allah ingin memperjelas bahwa sejak kecil sampai dewasa hingga berusia 40 tahun Muhammad saw hidup di tengah masyarakatnya dengan berbagai resiko interaksi yang sarat dengan persoalan-persoalan manusia.
Demikian setelah bi’tsah, interaksi tersebut berlangsung dengan berbagai resiko lebih berat. Diantara bukti nyatanya adalah pertentangan dan perlawanan warga Mekkah dan sekitarnya terhadap dakwah Nabi saw, yang berdampak kepada kepedihan fisik dan kesedihan hati serta kepiluan jiwa yang mendalam pada diri setiap pengikut risalah Nabi.
Jikalau Allah berkehendak jalan dakwah tanpa melalui rintangan dan tantangan, maka sangat mungkin dan mampu Dia lakukan dengan perintah “kun fayakun”. Tetapi bukan itu yang dikehendakiNya. Mujahadah (optimalisasi) dalam usaha-usaha perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan merupakan keniscayaan dalam hidup dan kehidupan.
Saat optimalisasi telah dilalui dengan tulus dan kebersihan motivasi serta ketinggian tawakkal kepada Allah swt, saat itu Allah dengan kekuasaanNya dan kebesanNya menolong hamba-hambaNya yang bersungguh-sungguh. Inilah maksud dari firmanNya: “jika kamu menolong Allah (agama Allah) maka Dia (Allah) pasti menolongmu”.
Kelahiran Nabi Muhammad saw adalah kelahiran pemimpin dunia. Pemimpin yang membawa misi reformasi yang berorientasi kepada perubahan-perubahan positif dan konstruktif pada setiap aspek kehidupan. Pemimpin yang menjunjung tinggi peradaban umat manusia, karena keberhasilan perjuangan Nabi Muhammad saw dalam menghantarkan manusia ke lembah kesejahteraan dan kehidupan bermakna dan bermoral.
Karenanya Allah swt menegaskan kepemimpinan nabi disebut sebagai sebuah “minnah” (anugrah besar) bagi umat, dalam firmanNya: “Sungguh Allah telah memberikan nikmat besar karena mengutus seorang rasul dari kalanganmu, membacakan ayat-ayatNya, mengupayakan tazkiyah (pensucian diri) dan mengajarkan al-Qur’an dan al-Hikmah (sunnah Nabi), dan mereka sebelumnya dalam kesesatan yang nyata” ((QS. :) Ali Imran: 164).

Kepemimpinan Paripurna.
Sejarah dalam kehidupan manusia mempunyai arti dan nilai dalam membina, memelihara kepribadian dan kewibawaan serta kekuatan umat. Demikian sejarah dapat berperan sebagai faktor utama bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup bagi umat manusia.
Pada hakekatnya sejarah bukan sekadar pengetahuan masa lalu, tetapi ia juga merupakan ilmu pengetahuan saat ini dan masa akan datang. Sebagaimana pernah diungkapkan seorang pemikir muslim katanya: “Perumpamaan bangsa yang mengabaikan sejarah, ibarat anak yang baru ditemukan (setelah lama menghilang), kondisinya lemah tak berdaya[38].
Abu Bakar ash-Shiddiq merupakan figure pemimpin Islam yang paripurna, memberikan sebuah pelajaran besar bagi pemimpin setelah beliau. Sebelum menjadi khalifah (pemimpin umat) beliau sudah dikenal dan diakui kemampuan leadershipnya oleh masyarakat setempat. Ia adalah seorang berprofesi pedagang sekaligus sebagai tokoh rujukan masyarakat Mekkah pada masa Jahiliah. Kepribadiannya yang kharismatik dan berwibawa beliau menjadi salah satu dari sepuluh tokoh terkemuka dari bangsa Quraisy. Meskipun secara penampilan tidak ‘memuaskan sebagian tokoh pemimpin masa kini, karena postur tubuhnya ramping dan kurus sedikit membungkuk, berkulit putih, berwajah halus, kelopak matanya cekung, dahinya menonjol; tetapi secara moral membuktikan bahwa beliau adalah seorang tokoh pemimpin yang paripurna, dimasa jahiliyah beliau adalah seorang yang hanif, tidak terbawa arus Jahiliah, tidak menyembah berhala dan tidak pernah minum arak, berusaha memelihara kehormatan diri, menjaga muru’ah (kewibawaan).
Kepemimpinan paripurna Abu Bakar ash-Shiddiq sering dijelaskan hadits-hadits Rasulullah saw antara lain Imam Bukhari meriwayatkan, bahwa Abdullah bin Umar berkata: Kami memilih Abu Bakar, Umar dan Utsman (sebagai shahabat yang memiliki keistimewaan) di masa Rasulullah saw. Rasulullah saw pun bersabda: Setiap Nabi mempunyai 2 orang wazir baik di langit maupun di bumi; 2 wazirku di langit adalah Jibril dan Mikail, sedangkan 2 wazirku di bumi adalah Abu Bakar dan Umar”.
Pandangan umum politik semasa kepemimpinannya dapat dilihat pada pidato kekhilafahanya di hadapan umat Islam :
أيها الناس، إني وليتُ عليكم ولست بخيركم، وإن أحسنتُ فأعينوني، وإن أسأتُ فقوّموني، الصدق أمانة، والكذب خيانة، والضعيف فيكم قوي عندي حتى أريحَ عليه حقه إن شاء الله، والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله، لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا ضربهم الله بالذلّ، ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء، أطيعوني ما أطعت الله ورسوله، فإن عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم، قوموا إلى صلاتكم يرحمكم الله .                                                                      
“Wahai sekalian manusia, aku diamannahi sebagai pemimpin, padahal aku bukan lebih baik daripada kalian, jika aku baik maka bantulah aku, jika aku tidak baik maka perbaikilah aku, kejujuran adalah amanah, dusta adalah khianat, orang lemah diantara kalian menjadi kuat di sisiku, aku akan membela haknya insya Allah, sedangkan orang kuat diantara kalian menjadi lemah di sisi saat aku ambil haknya (karena kesalahannya) insya Allah, orang yang meninggalkan jihad fi sabilillah akan dihinakan Allah, jika kemungkaran merajalela pada satu kaum niscaya Allah akan turunkan musibah. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya, jika aku maksiat kepada Allah dan RasulNya maka tidak ada ketaatan kepadaku, bergegaslah mendirikan shalat semoga Allah merahmatimu”[39].
Kepeloporan kepemimpinan Abu Bakar ash-Shiddiq diuji dengan sebuah peristiwa besar dalam sejarah yaitu penyimpangan sebagian warga di wilayah yang sempat dikhawatirkan Abu Bakar r.a yaitu sebagian warga yang tinggal jauh dari pusat pemerintahan Islam, seperti Yamamah, Yaman dan daerah Timur Jazirah Arab lainnya. Sayyid Wakil memberikan analisanya terhadap kasus murtadnya sebagian warga di daerah-daerah tersebut, katanya: Ketika kita pelajari riwayat hidup mereka (orang-orang yang mengaku nabi seperti: al-Aswad al-Ansi dari Abhalah Yaman, Musailamah al-Kadzab dan Malik bin Nuwairah dari Bani Jarbu’ di Yamamah (Timur Jazirah), Thulaihah bin Khuwailid dari Utara Jazirah Arab dan Sajah binti Habib dari Bani Tamim), kita dapat menyimpulkan, bahwa mereka menginginkan kedudukan dan ambisi kepemimpinan, mereka pun yakin, bahwa kedudukan dan kepemimpinan tersebut dapat diraih dengan cara mengaku sebagai nabi, sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad saw. Padahal mereka lupa, bahwa kedudukan yang sandang nabi bukan karena kenabiannya itu sendiri, tetapi karena kenabian itu didukung dengan kebenaran (al-Haq). Selain itu, banyaknya pengikut mereka bukanlah lantaran kebenaran pengakuan dan ajaran mereka, tetapi karena kultus pribadi dan fanatisme golongan (taashub hizbi). Namun ada faktor lain yang menyebabkan mereka murtad, yaitu: merasa berat dengan kewajiban syariat, seperti menunaikan zakat dan menunaikan shalat sebanyak 5 waktu dalam sehari semalam; mereka minta keringanan dari penunaian zakat dan minta agar shalat hanya 3 kali dalam sehari semalam [40].
Berkat bekal komitmennya kepada Islam, Abu Bakar ash-Shiddiq r.a mampu membebaskan penduduk banyak negeri dari tangan penjajahan, antara lain melanjutkan delegasi pasukan Islam di bawah pimpinan Usamah bin Zaid menghadapi tentara Romawi di pesisir Jazirah Arab bagian Utara, delegasi ini merupakan wasiat Rasulullah saw yang mesti dilaksanakan.
Abu Bakar r.a juga mengerahkan pasukan Islam di bawah pimpinan Khalid bin al-Walid untuk menghadapi pasukan Thulaihah bin Khuwailid di pemukiman Bani Asad (al-Bazakhah), pasukan yang menyerang umat Islam dan bergabung bersama mereka kabilah-kabilah lain dari bangsa Arab.
Abu Bakar ash-Shiddiq juga melakukan pengiriman delegasi ke daerah Yarmuk (daerah perbatasan antara Syria dan Palestina atau dekat Yordania dari sebelah Selatan). Dengan kegigihannya dan ketegarannya beliau bersama pasukan Islam yang berjumlah 30 ribu mampu menghadapi pasukan lawan dari tentara Romawi sebanyak 240 ribu orang. Pasukan Islam sempat merasa ragu menghadapi pasukan lawan yang begitu banyak, tetapi selanjutnya mereka semangat kembali setelah mereka mendapatkan arahan dari Amr bin ‘Ash, ia berkata: “Jumlah kita yang sedikit tidak akan dapat dikalahkan”. Khalifah Abu Bakar pun mengingatkan mereka: “Orang-orang seperti kalian tidak akan dapat dikalahkan hanya karena jumlahnya yang sedikit, 10 kalian sama halnya jumlah ribuan dari mereka, demikian seterusnya jika jumlah kalian ditambah sepuluh orang sama dengan ribuan orang selain kalian jika kalian menjauhi dosa-dosa, maka berhati-hati dari perbuatan dosa, bersatulah menghadapi lawan di Yarmuk, jaga silaturahmi sesama kalian”[41].
Lima panglima besar pasukan muslimin dalam peperangan Yarmuk adalah: Amr bin Ash, Yazid bin Abu Sofyan, Muawiyah, Syurahbil bin Hasanah, Abu Ubaidah bin al-Jarah. Ketika dirasakan terlambatnya pertolongan Allah dalam peperangan ini karena sudah 3 bulan lamanya mereka mengepung Yarmuk, Khalifah mengumpulkan majlis syura. Mereka mengadakan evaluasi, ternyata faktor utama keterlambatan kemenangan adalah terdapatnya titik kelemahan pada 5 panglima perang yang dipilih. Abu Ubaidah bin al-Jarah meskipun beliau ahli dalam kemiliteran, tetapi beliau memiliki kelembutan hati yang kurang berani bersikeras kepada musuh. Amr bin ‘Ash dengan kecerdikan dan kemampuan berargumentasi, beliau memiliki kekurangan, yakni kekurangberanian menyerang musuh. Ikrimah adalah seorang pemberani, tapi kurang banyak pertimbangan matang. Panglima-panglima yang lain belum memiliki pengalaman menghadapi peperangan sebesar peperangan Yarmuk. Maka mereka memutuskan untuk mengutus Khalid bin al-Walid yang memimpin 9000 tentara yang terdiri dari para shahabat dari Iraq, termasuk Mutsanna bin Haritsah, gubernur Iraq saat itu. Pasukan Khalid dalam perjalanan menuju Yarmuk lewat jalan yang belum pernah dilalui pasukan manapun sebelumnya, yaitu perkampungan as-Samawah, ditempuh selama 5 hari perjalanan. Sedangkan strategi perang yang diatur oleh Khalid adalah membagi-bagi tentara menjadi beberapa pasukan yang terdiri masing-masing dari 1000 orang tentara dan dipimpin oleh seorang yang memiliki kemampuan dan keberanian, sedang pimpinan pusat dipercayakan oleh Abu Ubaidah bin al-Jarah, sayap kanan dipimpin oleh Amr bin Ash dan Syurahbil, sayap kiri dipimpin oleh Yazid bin Abi Sofyan. Abu Darda’ diminta kesediaannya menjadi Qadhi, sedangkan Abu Sofyan berperan sebagai orator dan penasehat bersama shahabat Abu Hurairah r.a.


Rahasia Kesuksesan Para Pemimpin Da’wah.
Melihat sejarah Islam dan mencermati sikap dan perilaku para pemimpin umat, Abul Hasan an-Nadawi menjelaskan beberapa rahasia sukses yang diraih para pemimpin Islam dalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia, antara lain [42]:
1-               Mereka adalah orang-orang yang memiliki pegangan hidup ibarat buku standar kepemimpinan yang menjadi rujukan dalam gerak dan langkah memimpin umat, yang sekaligus berfungsi sebagai nur cahaya penerang bagi kepemimpinan umat. Firman Allah SWT yang artinya: ”dan apakah orang yang mati lalu kami hidupkan dan baginya cahaya berjalan dengan cahayanya seperti orang yang dalam kegelapan dan tidak dapat keluar dari kegelapan itu?” (QS. Al-An’am: 122).
2-               Mereka adalah kader-kader inti yang dibina oleh Rasulullah saw untuk menjadi pemimpin yang mengemban amanat risalah Islam.
3-               mereka adalah orang-orang yang memiliki misi kepemimpinan yang jelas, yaitu: ”menyelamatkan umat manusia dari penghambaan dan perbudakan sesama manusia, membawa umat manusia kepada keadilan Islam yang berorientasi dunia dan akhirat”.
4-               Mereka adalah figur-figur yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dalam berbagai aspeknya, jasmani, rohani dan akal. Misi mereka membawa manusia untuk dapat hidup secara seimbang antara aspek-aspek kemanusiaan tersebut. Pandangan yang seimbang ini yang mampu membawa kesuksesan mereka dalam mewujudkan hidup secara berkeadilan dan bermartabat di mata bangsa-bangsa lain.



[1] Abdul Karim Zaidan, Ushul ad-Da’wah, hal   , th.  Al-I’tisham Mesir.
[2]  Hadits Hasan riwayat Abu Dawud, lihat: kitab Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhush-Sholihin, 1/720, hadits no: 960.
[3]  Hadits Shahih, Riwayat Imam Bukhari dalam Bab Nikah dan Bab Jumu’ah. Riwayat Imam Muslim dalam Bab Imarah (Imam yang adil), Nuzhatul Muttaqin, op.cit. 1/288, hadits no: 285
[4] Al-Khilafah Baina at-Tanzhir wa ath-Thathbiq, Ust Mahmud al-Mardawi, 47, tahun 1983.
[5] As-Siyasah asy-Syar’iyah, 161.
[6] Lihat: Humat al-Islam, Musthofa Najib, 60, tahun 1998.
[7] Hadits shahih riwayat Imam Muslim Bab “Karohah al-Imarah Bighoiri Dharurah”, Nuzhatul Muttaqin, op.cit, 1/557, hadits no: 676
[8] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 1/100,
[9] Dr. M. Idris A. Shomad, MA, Wasiat Ilahi Untuk Pada Dai dan Murabbi, hal :, Ikadi Jkt, tahun
[10] HR Ibnu Majah dalam sunannya no: 4032 kitab al-fitan, Imam Ahmad dalam musnadnya 2/43 dan imam Tirmizi dalam sunannya, lihat Faidhul Qodir al-Munawi 6/255
[11] Dr. Haidar bin Ahmad ash-Shofih, Wasiat Nabi Untuk Para Dai dan Murabbi, hal. 81, Ikadi Jkt, 2006.
[12] HR. Bukhari dalam bab Bad’ul Khalqi no: 3267, dan dalam bab al-fitan no: 7098. Riwayat Muslim bab az-Zuhd dan ar-Roqo’iq no: 2989
16 Lihat buku al-Fawa’id Ibnu Qoyyim al-Jauziyah hal: 80 .
[14] Jami’ Bayan al-ilmi wa fadhlihi, 1/194 .
[15] at-tashwir al-fanni fil hadits an-Nabawi hal: 187.
[16] Lihat: al-Jami’ Li ahkamil Qur’an, al-Qurthubi 1/366 dan Adhwa’ul Bayan, asy-Syinqithi 2/173 .
[17] Sunan Abu Daud 3/18,  Masalah Jihad, dalam kitab musnad Imam Ahmad 2/302, disebutkan dalam kitab silsilatul ahadits ash-shohihah Syekh Albani nomor: 560 .
[18] Lihat dalam kitab shahih al-Jami’ ash-shogir 6/106 dan Musnad Abu Ya’la 2/544 .
[19] Lihat dalam kitab Majma’ az-Zawaid 1/92 .
[20] Lihat pembahasan ini secara rinci dalam kitab “al-Istiqomah” ibnu Taimiyah, 2/264 .
[21] HR Tirmizi kitab az-Zuhdu no: 2376 dan Imam Ahmad dalam musnadnya 3/456 dan 460
[22] Dr. Haidar bin Ahmad ash-Shofih, Wasiat Nabi Untuk Para Dai dan Murabbi, op.cit. hal 88.
[23] Raudhatul Muhibbin hal. 19-21
[24] tafsir Ibnu Katsir 1/629
[25] tafsir al-Qurthubi 4/160
[26] lihat dalam tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Ibnu Katsir 1/477-478,  Darul Hadits, Kairo. tt.
[27] Sayyid Quthub, Fi Zhilal al-Qur’an 1/445, Darusy-Syuruq Beirut, 1407H/1987M
[28] Al-Bayanuni, al-Madkhol ila ilmi ad-Da’wah, hal…
[29] Lihat:  Ibnu Katsir 1/489 dan tafsir Fathul Qodir 1/480)
[30] Lihat: Ibnu Katsir 1/489
[31] Lihat: tafsir Fi Zhilal al-Qur’an 2/688
[32] Lihat: Nuzhatul Muttaqin 1/547
[33] Lihat: Fi Zhilal al-Qur’an 2/690
[34] Lihat al-Damighani, "Qomus al-Qur'an Aw Ishlah al-Wujuh wa an-Nazhoir Fil-Qur'an al-Karim" materi Ra Hi Ma, hal 199
[35] Lihat : al-Ashfahani, alMufrodat Li Alfazhil Qur’an, materi Rahima.
[36] Fi Zhilal al-Qur'an 4/2401
[37] Dr. M. Idris AS, Wasiat Ilahi Untuk Para Dai dan Murabbi, hal: 19-21, Pustaka IKADI Jakarta, 1428H/2007M.
[38] DR. Abdul Adhim Mahmud ad-Dib, al-Manhaj Fi Kitabat al-Gharbiyyin ‘an at-Tarikh al-Islami, 54-55, cet. 1 tanpa tahun
[39] Lihat Tarikh ath-Thobari 3/210
[40] Lihat: Muhammad as-Sayyid al-Wakil, Jaulah Tarikhiriyah. 24
[41] Muhammad as-Sayid al-Wakil, op.cit, 59 . Atau lihat Tarikh ath-Thabari 3/392
[42] Lihat: Madza Khosirol ‘alamu Binhithothil Muslimin, 125-128, tahun 1977 Darul Qolam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar